Saat mengantar dan melihat anakku
latihan menari, aku seolah sedang melihatmu, Tin. Kenangan itu muncul Tin. Iya, kenapa dirimu selalu
menyuruhku untuk mengantarmu latihan nari. Bahkan, jika aku absen tak mau
mengantarmu, besoknya kau pasti melaporkannya pada bu guru.
Setelah memperoleh laporan darimu,
bu guru pasti memanggilku ke kantor. Anak sd saat itu, jika di panggil ke kantor
kamu pasti tau Tin. Iya, Takut. Rasanya seperti masuk di rumah hantu sendirian. Hemmh...
Kuucapkan salam sebelum masuk
ke ruang guru. Setelah dijawab dan dipersilakan masuk, segera dengan langkah pelan aku
mendatangi meja bu guru. Sesampainya di meja bu guru aku langsung disuruh
duduk. Walau Bu Guru, nggak marah padaku Tin, namun rasa sungkan padanya
membuat diriku merasa bersalah Tin. Dan dipastikan sorenya dan hari-hari
berikutnya aku pasti selalu mengantarmu.
Kenapa kamu ngga menyuruh si
Toni, anak kepala desa kita itu, Tin? Sepedanya bagus. Baru. Bisa cepat
jalannya. Kenapa mesti aku Tin. Yang anak petani. Kamu tahu sendiri, kan. Sepedaku
bagaimana. Sudah sepeda lama, bunyinya ‘krit’, ‘krit’, ‘krit’. Rantainya sering
lepas lagi.
Kalau kutanya kenapa. Kamu selalu
bilang, “Kamu itu Lucu, Ndik. Menyenangkan saat bersamamu”. Dan dipastikan aku akan
lupa rasa lelah saat mengayuh sepedaku.
Sebenarnya aku nggak keberatan Tin
mengantarmu. Justru aku merasa senang. Kita bisa bersendau gurau, bercerita,
dan berdiskusi. Namun.
“Yah, pulang yah”. Anakku menyadarkan
lamunanku. Latihan menarinya sudah selesai. Segera aku bangkit menuju motorku. Pulang
dengan anakku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar